Ingatkah bagaimana proses belajar Anda ketika dulu berada di bangku sekolah dasar? Mulai dari pertama kali mengenal abjad hingga belajar menghitung. Anda pasti ingat ketika jari-jari Anda memiliki peran penting dalam proses belajar tersebut. Kesepuluh jari tangan sangat berperan penting dalam membantu Anda dalam pelajaran matematika hingga pelajaran membaca. Bahkan, jari-jari kaki juga turut membantu ketika jari tangan sudah tidak cukup. Hal ini menunjukkan bahwa proses belajar Anda dulu sangat terbantu oleh hal-hal lain di luar buku dan penjelasan guru.
Keadaan ini tidak berbeda jauh dengan zaman sekarang, meskipun proses belajar tentunya berbeda dikarenakan perubahan kurikulum. Perkembangan teknologi juga turut membawa banyak perubahan di bidang pendidikan. Proses pembelajaran disesuaikan dengan kemajuan teknologi tersebut. Tidak hanya terpaku pada buku teks saja, tetapi ada alat-alat lain yang membantu proses pembelajaran. Beberapa sekolah dan pengajar menggunakan alat tambahan seperti OHP, komputer, LCD, dan internet. Lalu, ada juga yang menggunakan alat pemutar video untuk menunjukkan tontonan yang menarik sehingga memudahkan proses pembelajaran di antara pengajar dan siswa. Alat-alat tersebut bisa dikatakan sebagai contoh dari media pembelajaran. Sebenarnya, media pembelajaran yang digunakan tidak harus canggih. Substansi penting dari media pembelajaran itu sendiri adalah bentuk saluran penyampaian pesan yang dapat merangsang anak untuk semangat belajar. Akan tetapi, tetap ada hal-hal penting yang harus diperhatikan saat membuat media pembelajaran. Media yang dipilih harus sesuai dengan tujuan, metode serta situasi belajar yang sedang berlangsung. Selain itu, menurut Rose Mini, pakar psikologi pendidikan anak, pemilihan bahan dan alat media pembelajaran juga perlu untuk diperhatikan terutama untuk anak sekolah dasar. “Ingat, untuk anak-anak itu harus sesuatu yang tahan banting karena mereka bukan orang yang bisa berhati-hati. Memegangnya pelan-pelan? Mereka tidak bisa seperti itu,” kata Rose Mini. Banyak manfaat yang didapat dari penggunaan media pembelajaran. Di antaranya mempermudah proses pembelajaran di kelas, meningkatkan efisiensi pembelajaran, menjaga relevansi antara materi dengan tujuan belajar serta membantu menambah konsentrasi anak saat belajar. Namun bagaimanapun juga, media pembelajaran hanyalah sebagai alat bantu. Sang guru diharapkan bisa membuat kelas lebih kondusif dengan adanya media pembelajaran sehingga anak lebih semangat belajar dan mudah menangkap materi yang dijelaskan. Namun, secanggih apapun media pembelajaran, tetap harus ada guru yang menuntunnya. Sebanyak apapun jari yang Anda miliki tentu tetap membutuhkan guru untuk memberitahu Anda akan kegunaan jari-jari tersebut dalam pelajaran. Rose Mini menambahkan, guru yang kreatif sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran. “Key-nya is the teacher itself,” ujarnya. Oleh : Gita Laras Widyaningrum Sefiana Putri Gerombolan anak terlihat memenuhi salah satu stand wahana di Pagelaran Bocah, Minggu (11/5) kemarin. Dengan penuh semangat mereka menempelkan sticker bergambar pada dadu kayu berukuran sekitar 2x2 centimeter. Rupanya, mereka harus menyusun gambar yang huruf awalnya sesuai dengan abjad yang ada di dadu. Permainan tersebut dinamakan Dadu Alfabet. Namun, dadu-dadu ini bukan sekedar permainan, melainkan media pembelajaran yang diperkenalkan oleh program Laire Sujana dari Sayap Dewantara Indonesia (Sadewa).
Laire Sujana diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti lahirnya orang cerdas.. Program Laire Sujana ini diusung oleh Sadewa melihat kurangnya penggunaan media pembelajaran di sekolah. Menurut Rima Rizki, penanggung jawab program Laire Sujana, media pembelajaran sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar supaya anak lebih mengerti materi yang diajarkan. “Satu sih yang penting, pengen banget anak-anak ngerasa dengan adanya media itu dia nggak kaya lagi belajar, tapi lagi main. Jadinya bisa lebih senang memahami hal baru,” kata Rima. Sesuai dengan namanya, Laire Sujana diharapkan bisa menjadi sarana lahirnya orang-orang cerdas melalui media pembelajaran yang mereka buat. Setiap bulan program ini akan mengajak anak-anak maupun masyarakat umum untuk ikut membantu membuat media pembelajaran. Langkah awal Laire Sujana dilakukan pada acara Pagelaran Bocah 2014 yang diadakan dari pukul delapan pagi hingga empat sore, Laire Sujana berhasil mengajak anak-anak dari kelas satu sampai kelas enam SD untuk ikut berpatisipasi membuat Dadu Alfabet. Media pembelajaran jenis ini dipilih karena selain mudah pembuatannya juga dapat membantu anak untuk mengingat huruf abjad serta mengenal benda-benda di lingkungan sekitarnya. Dengan bantuan Dewantara Cilik – sebutan bagi anak-anak yang ikut membuat media pembelajaran – Laire Sujana berhasil membuat 156 buah Dadu Alfabet. Media pembelajaran ini nantinya akan diberikan ke murid-murid Sekolah Dasar di titik aksi Gerakan UI Mengajar (GUIM) sebelumnya, yaitu Garut, Banten dan Indramayu. Tidak hanya disambut semangat oleh para Dewantara Cilik, program Laire Sujana ini juga dianggap menarik oleh para orang tua yang mengantarkan anaknya ke Pagelaran Bocah. Ika misalnya, salah satu orang tua dari anak yang mengikuti kegiatan membuat media pembelajaran, merasa senang dengan adanya kegiatan seperti ini. “Saya baru tahu dari kegiatan ini nantinya karyanya akan dikirim untuk anak-anak di sekolah lain. Bagus ya, jadi anak bisa belajar bermain sekaligus membantu temannya.” Untuk kegiatan selanjutnya, Laire Sujana akan mengajak rumah belajar fakultas serta komunitas-komunitas peduli pendidikan lainnya untuk membuat media pembelajaran. Hal ini dilakukan untuk membangun kepedulian dalam diri anak dan mengajarkan pentingnya berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Media pembelajaran yang dibuat selanjutnya akan disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak di titik aksi GUIM. Namun, akan tetap mengedepankan kegunaan dan kemudahan saat pembuatannya. “Pokoknya sederhana materi, bahan, dan penggunaannya. Selain itu juga harus awet, karena kondisi di titik macam-macam jadi pengennya si media ini bisa tahan lama,” ujar Rima. Melalui program Laire Sujana, Sadewa juga ingin menularkan semangat kepada komunitas maupun anak muda agar ikut serta membantu membuat media pembelajaran. Dengan begitu, diharapkan semua anak yang mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar bisa memiliki media pembelajaran yang memadai sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih efektif dan maksimal. Oleh : Gita Laras Widyaningrum Sefiana Putri Para pahlawan berjuang mati-matian untuk memperjuangkan pendidikan. Sebut saja Ki Hajar Dewantara dengan Perguruan Taman Siswa-nya, sebuah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk memperoleh hak yang sama dengan para priayi dan bangsa Belanda. Atau R.A. Kartini yang berusaha menyetarakan pendidikan perempuan dengan laki-laki meskipun harus menentang adat Jawa saat itu. Namun, berpuluh-puluh tahun setelah itu, kemerdekaan pendidikan belum juga didapat. Sistem pendidikan di Indonesia cenderung menjadikan anak sebagai manusia robot. Hal ini terlihat dari sistem Ujian Nasional yang terkesan membatasi kemampuan anak. Mengungkung ide dan kreativitas anak bangsa lewat pilihan ganda. Tang ting tung, menghitung kancing baju untuk menentukan jawaban. Layaknya robot yang sudah diprogram oleh pemiliknya, anak-anak sekolah di Indonesia terpaku mengikuti alur yang sudah disiapkan pemerintah.
Akan tetapi, masih banyak anak Indonesia yang jauh dari kata beruntung untuk sekedar mengecap manisnya aktivitas di sekolah. Jangankan bermimpi mengikuti ujian untuk naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baca dan tulis saja tidak bisa. Mereka adalah anak-anak Indonesia yang belum tersentuh oleh pendidikan yang katanya merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Ketua Komisi Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan jumlah anak yang belum tersentuh pendidikan pada tahun 2011 sebanyak 11,7 juta anak. Terutama anak-anak di daerah pedalaman dan perbatasan Indonesia. Sekalinya ada sekolah, segalanya serba terbatas. Terbatas bangunan sekolahnya maupun sumber daya manusianya. Tidak meratanya pendidikan juga merupakan salah satu masalah besar pendidikan di Indonesia. Miris ketika melihat bangunan sekolah di kota-kota besar berdiri megah ditambah dengan berbagai ekstrakurikuler yang menunjang pendidikan anak, sedangkan ada beberapa sekolah di Indonesia yang hanya beratapkan jerami dan beralaskan tanah tanpa keramik. Atap bocor ketika hujan turun atau bangunan sekolah roboh diterpa angin kencang. Tidak ada guru yang cukup untuk mengajarkan mereka bahasa asing ataupun guru yang mampu mengembangkan minat dan bakat mereka di bidang seni. Padahal, Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, mengatakan setiap warga Negara Indonesia berhak mendapat pendidikan. Siapapun. Tanpa terkecuali. Adalah kita – anak muda – yang bertugas untuk memenuhi apa yang belum bisa negara penuhi di bidang pendidikan. Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa mendidik adalah kewajiban setiap orang terdidik. Maka dari itu, setiap anak yang tidak terdidik di Republik Indonesia ini adalah dosa bagi kita yang terdidik. Kalimat ini menginspirasi beberapa anak muda serta mahasiswa untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Namun sebenarnya, jauh sebelum itu, kewajiban mahasiswa untuk membangun pendidikan Indonesia telah tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pertama, melalui Pendidikan dan Pengajaran, dimana mahasiswa maupun semua sivitas akademika wajib meneruskan dan berbagi ilmu pengetahuan yang telah didapatnya. Proses pembelajaran di perguruan tinggi memiliki peran penting untuk menciptakan manusia-manusia yang unggul dan dapat membawa bangsa ke arah yang lebih maju. Kedua, Penelitian dan Pengembangan, hal ini penting dilakukan sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi bisa lebih berkembang dan maju. Ketiga, Pengabdian pada Masyarakat, di sini mahasiswa harus mampu berkontribusi nyata untuk sekitarnya. Apalagi, mahasiswa berperan sebagai agent of change. Untuk itu, Sayap Dewantara Indonesia (Sadewa) berusaha memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Komunitas yang beranggotakan alumni keluarga besar Gerakan Universitas Indonesia Mengajar (GUIM) tidak ingin berhenti berkontribusi. Melalui program-programnya seperti Beasiswa, Laire Sujana, Jalan Jalin, dan Aksi 2.0, Sadewa ingin melanjutkan kebermanfaatan di setiap lokasi aksi Gerakan UI Mengajar. Pada program beasiswa, Sadewa berusaha memberikan beasiswa kepada 36 anak didik berprestasi di Indramayu yang sebelumnya menjadi lokasi aksi Gerakan UI Mengajar 3. Dibantu juga oleh program Laire Sujana yang bertujuan untuk membantu proses belajar peserta didik Gerakan UI Mengajar dengan media pembelajaran. Pada program Jalan Jalin, Sadewa ingin mengajak anak-anak di lokasi aksi Gerakan UI Mengajar untuk menimba ilmu melalui wisata edukatif di Ibukota, sedangkan program Aksi 2.0 berusaha mengakomodir para alumni agar dapat kembali ke daerah aksi mengajar untuk bersilaturahmi dan melihat kondisi daerah aksi mengajar. Sebagai salah satu komunitas yang bergerak di bidang pendidikan, Sadewa ingin mengajak dan menginspirasi pemuda Indonesia untuk turut serta menjadi Dewantara Muda – penerus Ki Hajar Dewantara yang mencurahkan perhatiannya untuk pendidikan. Hari ini, tepatnya tanggal 2 Mei, merupakan hari kelahiran Bapak Pendidikan Indonesia sekaligus Hari Pendidikan Nasional. Hari ini bisa menjadi langkah awal kalian para kaum terdidik untuk turut berkontribusi membangun pendidikan Indonesia. Hal sekecil apapun bisa membawa perubahan untuk Indonesia. Tidak ada hal yang sia-sia. Tidak ada kata terlambat untuk kebaikan. “Memayu hayuning sariro, memayu hayuning Bangsa, memayu hayuning bawana. Apapun yang diperbuat oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia pada umumnya.” – Ki Hajar Dewantara Oleh : Gita Laras Widyaningrum Sefiana Putri |