Para pahlawan berjuang mati-matian untuk memperjuangkan pendidikan. Sebut saja Ki Hajar Dewantara dengan Perguruan Taman Siswa-nya, sebuah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk memperoleh hak yang sama dengan para priayi dan bangsa Belanda. Atau R.A. Kartini yang berusaha menyetarakan pendidikan perempuan dengan laki-laki meskipun harus menentang adat Jawa saat itu. Namun, berpuluh-puluh tahun setelah itu, kemerdekaan pendidikan belum juga didapat. Sistem pendidikan di Indonesia cenderung menjadikan anak sebagai manusia robot. Hal ini terlihat dari sistem Ujian Nasional yang terkesan membatasi kemampuan anak. Mengungkung ide dan kreativitas anak bangsa lewat pilihan ganda. Tang ting tung, menghitung kancing baju untuk menentukan jawaban. Layaknya robot yang sudah diprogram oleh pemiliknya, anak-anak sekolah di Indonesia terpaku mengikuti alur yang sudah disiapkan pemerintah.
Akan tetapi, masih banyak anak Indonesia yang jauh dari kata beruntung untuk sekedar mengecap manisnya aktivitas di sekolah. Jangankan bermimpi mengikuti ujian untuk naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baca dan tulis saja tidak bisa. Mereka adalah anak-anak Indonesia yang belum tersentuh oleh pendidikan yang katanya merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Ketua Komisi Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan jumlah anak yang belum tersentuh pendidikan pada tahun 2011 sebanyak 11,7 juta anak. Terutama anak-anak di daerah pedalaman dan perbatasan Indonesia. Sekalinya ada sekolah, segalanya serba terbatas. Terbatas bangunan sekolahnya maupun sumber daya manusianya.
Tidak meratanya pendidikan juga merupakan salah satu masalah besar pendidikan di Indonesia. Miris ketika melihat bangunan sekolah di kota-kota besar berdiri megah ditambah dengan berbagai ekstrakurikuler yang menunjang pendidikan anak, sedangkan ada beberapa sekolah di Indonesia yang hanya beratapkan jerami dan beralaskan tanah tanpa keramik. Atap bocor ketika hujan turun atau bangunan sekolah roboh diterpa angin kencang. Tidak ada guru yang cukup untuk mengajarkan mereka bahasa asing ataupun guru yang mampu mengembangkan minat dan bakat mereka di bidang seni. Padahal, Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, mengatakan setiap warga Negara Indonesia berhak mendapat pendidikan. Siapapun. Tanpa terkecuali.
Adalah kita – anak muda – yang bertugas untuk memenuhi apa yang belum bisa negara penuhi di bidang pendidikan. Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa mendidik adalah kewajiban setiap orang terdidik. Maka dari itu, setiap anak yang tidak terdidik di Republik Indonesia ini adalah dosa bagi kita yang terdidik. Kalimat ini menginspirasi beberapa anak muda serta mahasiswa untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Namun sebenarnya, jauh sebelum itu, kewajiban mahasiswa untuk membangun pendidikan Indonesia telah tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pertama, melalui Pendidikan dan Pengajaran, dimana mahasiswa maupun semua sivitas akademika wajib meneruskan dan berbagi ilmu pengetahuan yang telah didapatnya. Proses pembelajaran di perguruan tinggi memiliki peran penting untuk menciptakan manusia-manusia yang unggul dan dapat membawa bangsa ke arah yang lebih maju. Kedua, Penelitian dan Pengembangan, hal ini penting dilakukan sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi bisa lebih berkembang dan maju. Ketiga, Pengabdian pada Masyarakat, di sini mahasiswa harus mampu berkontribusi nyata untuk sekitarnya. Apalagi, mahasiswa berperan sebagai agent of change.
Untuk itu, Sayap Dewantara Indonesia (Sadewa) berusaha memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Komunitas yang beranggotakan alumni keluarga besar Gerakan Universitas Indonesia Mengajar (GUIM) tidak ingin berhenti berkontribusi. Melalui program-programnya seperti Beasiswa, Laire Sujana, Jalan Jalin, dan Aksi 2.0, Sadewa ingin melanjutkan kebermanfaatan di setiap lokasi aksi Gerakan UI Mengajar. Pada program beasiswa, Sadewa berusaha memberikan beasiswa kepada 36 anak didik berprestasi di Indramayu yang sebelumnya menjadi lokasi aksi Gerakan UI Mengajar 3. Dibantu juga oleh program Laire Sujana yang bertujuan untuk membantu proses belajar peserta didik Gerakan UI Mengajar dengan media pembelajaran. Pada program Jalan Jalin, Sadewa ingin mengajak anak-anak di lokasi aksi Gerakan UI Mengajar untuk menimba ilmu melalui wisata edukatif di Ibukota, sedangkan program Aksi 2.0 berusaha mengakomodir para alumni agar dapat kembali ke daerah aksi mengajar untuk bersilaturahmi dan melihat kondisi daerah aksi mengajar.
Sebagai salah satu komunitas yang bergerak di bidang pendidikan, Sadewa ingin mengajak dan menginspirasi pemuda Indonesia untuk turut serta menjadi Dewantara Muda – penerus Ki Hajar Dewantara yang mencurahkan perhatiannya untuk pendidikan. Hari ini, tepatnya tanggal 2 Mei, merupakan hari kelahiran Bapak Pendidikan Indonesia sekaligus Hari Pendidikan Nasional. Hari ini bisa menjadi langkah awal kalian para kaum terdidik untuk turut berkontribusi membangun pendidikan Indonesia. Hal sekecil apapun bisa membawa perubahan untuk Indonesia. Tidak ada hal yang sia-sia. Tidak ada kata terlambat untuk kebaikan.
“Memayu hayuning sariro, memayu hayuning Bangsa, memayu hayuning bawana. Apapun yang diperbuat oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia pada umumnya.” – Ki Hajar Dewantara
Oleh :
Gita Laras Widyaningrum
Sefiana Putri
Akan tetapi, masih banyak anak Indonesia yang jauh dari kata beruntung untuk sekedar mengecap manisnya aktivitas di sekolah. Jangankan bermimpi mengikuti ujian untuk naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baca dan tulis saja tidak bisa. Mereka adalah anak-anak Indonesia yang belum tersentuh oleh pendidikan yang katanya merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Ketua Komisi Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan jumlah anak yang belum tersentuh pendidikan pada tahun 2011 sebanyak 11,7 juta anak. Terutama anak-anak di daerah pedalaman dan perbatasan Indonesia. Sekalinya ada sekolah, segalanya serba terbatas. Terbatas bangunan sekolahnya maupun sumber daya manusianya.
Tidak meratanya pendidikan juga merupakan salah satu masalah besar pendidikan di Indonesia. Miris ketika melihat bangunan sekolah di kota-kota besar berdiri megah ditambah dengan berbagai ekstrakurikuler yang menunjang pendidikan anak, sedangkan ada beberapa sekolah di Indonesia yang hanya beratapkan jerami dan beralaskan tanah tanpa keramik. Atap bocor ketika hujan turun atau bangunan sekolah roboh diterpa angin kencang. Tidak ada guru yang cukup untuk mengajarkan mereka bahasa asing ataupun guru yang mampu mengembangkan minat dan bakat mereka di bidang seni. Padahal, Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, mengatakan setiap warga Negara Indonesia berhak mendapat pendidikan. Siapapun. Tanpa terkecuali.
Adalah kita – anak muda – yang bertugas untuk memenuhi apa yang belum bisa negara penuhi di bidang pendidikan. Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa mendidik adalah kewajiban setiap orang terdidik. Maka dari itu, setiap anak yang tidak terdidik di Republik Indonesia ini adalah dosa bagi kita yang terdidik. Kalimat ini menginspirasi beberapa anak muda serta mahasiswa untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Namun sebenarnya, jauh sebelum itu, kewajiban mahasiswa untuk membangun pendidikan Indonesia telah tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pertama, melalui Pendidikan dan Pengajaran, dimana mahasiswa maupun semua sivitas akademika wajib meneruskan dan berbagi ilmu pengetahuan yang telah didapatnya. Proses pembelajaran di perguruan tinggi memiliki peran penting untuk menciptakan manusia-manusia yang unggul dan dapat membawa bangsa ke arah yang lebih maju. Kedua, Penelitian dan Pengembangan, hal ini penting dilakukan sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi bisa lebih berkembang dan maju. Ketiga, Pengabdian pada Masyarakat, di sini mahasiswa harus mampu berkontribusi nyata untuk sekitarnya. Apalagi, mahasiswa berperan sebagai agent of change.
Untuk itu, Sayap Dewantara Indonesia (Sadewa) berusaha memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Komunitas yang beranggotakan alumni keluarga besar Gerakan Universitas Indonesia Mengajar (GUIM) tidak ingin berhenti berkontribusi. Melalui program-programnya seperti Beasiswa, Laire Sujana, Jalan Jalin, dan Aksi 2.0, Sadewa ingin melanjutkan kebermanfaatan di setiap lokasi aksi Gerakan UI Mengajar. Pada program beasiswa, Sadewa berusaha memberikan beasiswa kepada 36 anak didik berprestasi di Indramayu yang sebelumnya menjadi lokasi aksi Gerakan UI Mengajar 3. Dibantu juga oleh program Laire Sujana yang bertujuan untuk membantu proses belajar peserta didik Gerakan UI Mengajar dengan media pembelajaran. Pada program Jalan Jalin, Sadewa ingin mengajak anak-anak di lokasi aksi Gerakan UI Mengajar untuk menimba ilmu melalui wisata edukatif di Ibukota, sedangkan program Aksi 2.0 berusaha mengakomodir para alumni agar dapat kembali ke daerah aksi mengajar untuk bersilaturahmi dan melihat kondisi daerah aksi mengajar.
Sebagai salah satu komunitas yang bergerak di bidang pendidikan, Sadewa ingin mengajak dan menginspirasi pemuda Indonesia untuk turut serta menjadi Dewantara Muda – penerus Ki Hajar Dewantara yang mencurahkan perhatiannya untuk pendidikan. Hari ini, tepatnya tanggal 2 Mei, merupakan hari kelahiran Bapak Pendidikan Indonesia sekaligus Hari Pendidikan Nasional. Hari ini bisa menjadi langkah awal kalian para kaum terdidik untuk turut berkontribusi membangun pendidikan Indonesia. Hal sekecil apapun bisa membawa perubahan untuk Indonesia. Tidak ada hal yang sia-sia. Tidak ada kata terlambat untuk kebaikan.
“Memayu hayuning sariro, memayu hayuning Bangsa, memayu hayuning bawana. Apapun yang diperbuat oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia pada umumnya.” – Ki Hajar Dewantara
Oleh :
Gita Laras Widyaningrum
Sefiana Putri